A.
PENGERTIAN
ETIKA PROFESI AKUNTANSI
Etika Profesi Akuntansi
adalah Merupakan suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik dan buruk
manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia terhadap pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus sebagai
Akuntan.
Dalam etika profesi,
sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi yang biasanya dituangkan
dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang
mengembangkan profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam
menjalankan atau mengemban profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode
etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Menurut Chua dkk
(1(994) menyatakan bahwa etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral
yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi
tertentu.
Setiap
profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik
yang merupakan seperangkat moral-moral dan mengatur tentang etika professional
(Agnes, 1996). Pihak-pihak yang berkepentingan dalam etika profesi adalah
akuntan publik, penyedia informasi akuntansi dan mahasiswa akuntansi (Suhardjo
dan Mardiasmo, 2002). Di dalam kode etik terdapat muatan-muatan etika yang pada
dasarnya untuk melindungi kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa profesi.
Terdapat dua sasaran pokok dalam dua kode etik ini yaitu Pertama, kode etik
bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik
secara disengaja maupun tidak disengaja oleh kaum profesional. Kedua, kode etik
bertujuan melindungi keseluruhan profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk
orang tertentu yang mengaku dirinya profesional (Keraf, 1998).
B.
KODE
ETIK AKUNTANSI
Kode
etik akuntan merupakan norma dan perilaku yang mengatur hubungan antara auditor
dengan para klien, antara auditor dengan sejawatnya dan antara profesi dengan
masyarakat. Kode etik akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan
bagi seluruh anggota, baik yang berpraktek sebagai auditor, bekerja di
lingkungan usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia
pendidikan. Etika profesional bagi praktek auditor di Indonesia dikeluarkan
oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (Sihwajoni dan Gudono, 2000).
C.
PRINSIP
ETIKA AKUNTANSI
Prinsip
perilaku profesional seorang akuntan, yang tidak secara khusus dirumuskan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia tetapi dapat dianggap menjiwai kode perilaku IAI,
berkaitan dengan karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang
akuntan. Prinsip etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Tanggung
Jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan
profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional,
anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran
tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa
profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja
sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara
kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur
dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan
meningkatkan tradisi profesi.
2. Kepentingan
Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak
dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan
menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi
adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran
yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri
dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia
bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan
integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan
publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan
institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. Kepentingan utama
profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa
akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan
etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua
anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan
yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan
dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
3. Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik,
setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas
setinggi mungkin.
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4. Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas
dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil,
tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta
bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota
bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan
obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik
memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain
menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit
internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri,
pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang
ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus
melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
5. Kompetensi
dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat
dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Hal ini mengandung arti
bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan
konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh
melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan
dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi
menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan
pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan
kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi
anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan
klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab
untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan,
pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang
harus dipenuhinya.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi
yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau
kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kepentingan umum dan
profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan
didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban
kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. Anggota
mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau
pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya.
Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien
atau pemberi jasa berakhir.
7. Perilaku
Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan
profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada
penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan
masyarakat umum.
8. Standar
Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai
dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
D.
RUU
DAN KODE ETIK PROFESI AKUNTAN PUBLIK
Untuk
mengawasi akuntan publik, khususnya kode etik, Departemen Keuangan (DepKeu)
mempunyai aturan sendiri yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.17 Tahun
2008 yang mewajibkan akuntan dalam melaksanakan tugas dari kliennya berdasarkan
SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik) dan kode etik. SPAP dan kode etik
diterapkan oleh asosiasi profesi berdasarkan standar Internasional. Misalkan
dalam auditing, SPAP berstandar kepada International Auditing Standart. Laporan
keuangan mempunyai fungsi yang sangat vital, sehingga harus disajikan dengan
penuh tanggung jawab. Untuk itu, Departemen Keuangan menyusun rancangan
Undang-undang tentang Akuntan Publik dan RUU Laporan Keuangan. RUU tentang
Akuntan Publik didasari pertimbangan untuk profesionalisme dan integritas profesi
akuntan publik. RUU Akuntan Publik terdiri atas 16 Bab dan 60 Pasal , dengan
pokok-pokok mencakup lingkungan jasa akuntan publik, perijinan akuntan publik,
sanksi administratif, dan ketentuan pidana.
Sedangkan
kode etik yang disusun oleh SPAP adalah kode etik International Federations of
Accountants (IFAC) yang diterjemahkan, jadi kode etik ini bukan merupakan hal
yang baru kemudian disesuaikan dengan IFAC, tetapi mengadopsi dari sumber IFAC.
Jadi tidak ada perbedaaan yang signifikan antara kode etik SAP dan IFAC. Adopsi etika oleh Dewan SPAP tentu sejalan dengan misi
para akuntan Indonesia untuk tidak jago kandang. Apalagi misi Federasi Akuntan
Internasional seperti yang disebut konstitusi adalah melakukan pengembangan
perbaikan secara global profesi akuntan dengan standar harmonis sehingga
memberikan pelayanan dengan kualitas tinggi secara konsisten untuk kepentingan
publik.
Seorang
anggota IFAC dan KAP tidak boleh menetapkan standar yang kurang tepat
dibandingkan dengan aturan dalam kode etik ini. Akuntan profesional harus
memahami perbedaaan aturan dan pedoman beberapa daerah juridiksi, kecuali
dilarang oleh hukum atau perundang-undangan.
E. FUNGSI DARI ETIKA PROFESI AKUNTANSI
·
Sebagai sarana dalam memperoleh orientasi
kritis yang berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
·
Etika profesi akuntansi yang ingin
menampilkan berbagai ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan dalam
berargumentasi secara rasional dan kritis.
·
Orientasi secara etis ini sangat
diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam menghadapi suasana dan situasi
pluralism.
F. PELANGGARAN ETIKA PROFESI AKUNTANSI
Pelanggaran terhadap kode
etik profesi oleh KAP akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap profesi akuntan publik. Padahal hasil audit dari Akuntan publik
merupakan referensi yang sangat berharga bagi para para pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam mengambil keputusan ekonomi. UU. No. 5/2011 tentang Akuntan
Publik menyatakan bahwa jasa akuntan publik merupakan jasa yang digunakan dalam
pengambilan keputusan ekonomi dan berpengaruh secara luas dalam era globalisasi
yang memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian nasional yang sehat
dan efisien serta meningkatkan transparansi dan mutu informasi dalam bidang
keuangan. Terjadinya kasus-kasus penyimpangan kode etik tersebut menunjukkan
bahwa menegakkan kode etik akuntan publik tidaklah mudah. Arens dan Loebbecke
(2000) menyatakan, persoalannya terletak pada dilema etis adalah situasi yang
dihadapi seseorang sehingga keputusan mengenai perilaku yang layak harus dibuat.
I.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pelanggaran etika profesi Akuntansi adalah sebagai berikut:
·
Kebutuhan dari setiap individu.
·
Sama sekali tidak memiliki Pedoman.
·
Perilaku dan kebiasaan dari para individu
yang terakumulasi dan sam sekali tidak dikoreksi.
·
Lingkungan yang tidak mendukung dan tidak
etis.
·
Perilaku dari komunitas.
II.
Sanksi Pelanggaran dari etika profesi
Akuntansi :
·
Sanksi Sosial : adalah sanksi dengan skala
yang relatif kecil, dapat dipahami sebagai kesalahan yang tentu saja dapat
“dimaafkan”.
·
Sanksi Hukum adalah sanksi dengan skala
besar, banyak merugikan hak dari pihak lain.
G. KASUS
PELANGGARAN HADI PURNOMO
Hadi Purnomo adalah mantan Direktur Jendral Pajak tahun
2001. Pada Oktober 2009, pria kelahiran Pamekasan, Jawa Timur ini dilantik
sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009 - 2014, didampingi
Herman Widyananda sebagai Wakil Ketua BPK, oleh Ketua Mahkamah Agung, Harifin A
Tumpa.
Saat terpilih, Purnomo mengungguli Taufiqurachman Ruki,
mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yang juga banyak diprediksi sebagai
orang nomor satu di lembaga auditor keuangan milik pemerintah tersebut. Sebelum
sampai pada jabatan Direktur Jendral Pajak pada 2001 silam, nama pemegang
sertifikat akuntan negara nomor D786 ini bisa disebut memiliki segudang
pengalaman di bidang keuangan dan perpajakan selama lebih dari dua
dekade.
Alumni Institut Ilmu Keuangan, Jurusan Akuntansi
Departemen Keuangan ini juga pernah bekerja sebagai Auditor di Kantor Pajak
Jakarta serta sebagai Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak pada
Kantor Wilayah Pajak pada 1996. Ketika menjabat sebagai Dirjen Pajak, Purnomo
sempat memberikan sumbangsih besar pada dunia pajak Indonesia.
Sekitar lima tahun dua bulan mengampu jabatan Direktur
Jendral Pajak, Hadi Purnomo berhasil menaikkan pendapatan negara setara Rp
1.200 trilliun. Penerimaan terbesar diperoleh sepanjang 2006 setelah pejabat
kelahiran 1947 ini berhasil menyerahkan pajak sebesar Rp 100 triliun lebih
kepada negara.
Pada awal 2010, KPK sempat memeriksa harta kekayaan
Purnomo yang terhitung mencapai lebih dari Rp 26 miliar dan $50.000. Harta ini
belum ditambah sejumlah koleksi barang seni senilai kira-kira Rp 1 miliar dan
logam mulia senilai Rp 100 juta. Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan
status harta tersebut yang sebagian besar berupa tanah dan atau barang hasil
hibah. Riset dan analisis: Teylita - Mochamad Nasrul Chotib
Ketua BPK, Hadi Poernomo telah ditetapkan sebagai tersangka
kasus pajak PT Bank BCA. Hadi disangka telah melakukan beberapa perbuatan
semasa menjabat sebagai Dirjen Pajak hingga mengakibatkan kerugian keuangan
negara.
Kasus ini berawal pada 17 Juli 2003 saat Bank BCA
mengajukan keberatan pajak atas transaksi Non Perfomance Loan (NLP) senilai Rp
5,7 triliun kepada Direktur PPH. Bank BCA keberatan dengan nilai pajak yang
harus dibayar karena nilai kredit macet mereka mencapai Rp 5,7 triliun.
“Direktorat PPH melakukan pengkajian dan penelahaan
kurang lebih setahun, 13 maret 2004 direktur PPH mengirim surat pengantar
risalah keberatan langsung pada Dirjen pajak yang berisi telaah dan kesimpulan.
Kesimpulan itu langsung ditujukan berupa surat pengantar risalah keberatan.
Adapun hasil telaahnya berupa kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak
PT BCA ditolak,” ujar ketua KPK, Abraham Samad di kantornya, Jl HR Rasuna Said,
Jakarta Selatan, Senin (21/4/2014).
Namun, Hadi Purnomo yang saat itu duduk sebagai Dirjen
Pajak pada 17 Juli 2004 mengirim nota dinas kepada Direktur PPH. Dalam nota
dinas tersebut ditulis bahwa supaya Direktur PPH merubah kesimpulan yang semula
dinyatakan menolak diubah menjadi menerima seluruh permohonan PT Bank BCA.
Padahal, jatuh tempo pembayaran pajak PT. Bank BCA jatuh pada tanggal 18 Juli
2004.
“Kemudian saudara HP (Hadi Poernomo) mengeluarkan SKPN,
tanggal 18 Juli 2004 yang memutuskan menerima seluruh permohonan wajib pajak,
sehingga tidak ada cukup waktu bagi Dirjen PPH untuk menelaah,” jelas Abraham.
“Selanjutnya saudara HP selaku Dirjen Pajak yang saat ini menjabat ketua BPK,
mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang sama oleh bank BCA diajukan oleh
bank lain tapi ditolak, di sinilah duduk persoalan kasus tersebut,” imbuh
Abraham.
Masalah lain adalah tahun pajak yang dibebankan kepada
Bank BCA adalah tahun 1999. Namun, BCA baru mengirimkan surat keberatan pada
2003. Terkait hal ini, KPK masih mendalami ada tidaknya penerimaan yang
diterima oleh Hadi Poernomo yang telah menguntungkan Bank BCA. Namun, terkait
perbuatan Hadi Poernomo, negara dirugikan sekitar Rp 375 miliar. “Tahun
pajaknya 1999 tapi baru diajukan 2003-2004. Oleh
KPK, Hadi disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana. Jadi
ada perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang sebagai Dirjen
Pajak,” ungkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto di tempat yang sama.
KPK menyatakan kerugian Negara akibat korupsi penyalahgunaan wewenang
yang diduga dilakukan Hadi Poernomo itu diperkirakan mencapai Rp375 miliar.
Bank BCA seharusnya membayar nilai pajak ke negara (Ditjen Pajak) tersebut jika
pengajuan keberatan BCA ditolak sebagaimana hasil kajian Direktur PPH. Dengan adanya keputusan menerima seluruh keberatan,
BCA tak jadi membayar pajak Rp 375 miliar. Nilai itulah yang menjadi potensi
kerugian negara.
Dengan kajian tersebut KPK menjerat Hadi
dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan pasal tersebut, Hadi yang baru saja
pensiun hari ini terancam hukuman pidana maksimal penjara 20 tahun dan denda Rp
1 miliar.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar