Rabu, 12 November 2014

Perkembanagn Koperasi sejak Zaman Penjajahan

            Ide dan gerakan koperasi sudah tampak pada abad ke-19 yang bertujuan dapat mewadahi gerakan sosial-ekonomi masyarakat dan mensejahterakan rakyatnya. Ide ini berawal ketika keadaan finansial masyarakat yang buruk karena begitu banyaknya lintah darat dan tengkulak pengijon. Hal ini terjadi akibat dari gaji kaum priyayi yang kecil sehingga mereka terpaksa berhutang pada lintah darat untuk memenuhi kebutuhannya. Namun lintah darat ini justru membebankan mereka kembali dengan bunga yang sangat tinggi. Kemudian banyak petani yang menderita akibat ulah para pengijon.   
        
            Landasan inilah yang membuat Patih Raden Ngabei Ariawiriaatmadja (Patih Purwokerto) untuk mendirikan Bank khusus untuk menolong para priyayi (Pegawai Negeri) melepaskan diri dari cengkraman para lintah darat dan tengkulak pengijon di kota Purwokerto yaitu Bank Simpan-Pinjam. Bagi generasi pasca Bahasa Belanda (dalam Bahasa Inggris) disebut sebagai “the Purwokerto Mutual Loan and Savings Bank for Native Civil Servants” yang artinya kurang lebih sama dengan Bank Simpan-Pinjam para ‘priyayi’ Purwokerto. Sehingga bank tersebut dikenal dengan Bank Priyayi.

            Gebrakan Patih wiriaatmadja ini mendapat dukungan penuh dari Asisten residen Purwokerto E. Sieburg, dimana beliau adalah atasan sang Patih. Namun, tak lama kemudian E.Sieburg digantikan oleh de Wolf Westerode yang baru datang dari Belanda, dan ingin mewujudkan cita-citanya menyediakan kredit bagi para petani melalui konsep koperasi Raiffeisen dan  menyarankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Konsep koperasi ini dicetuskan oleh Friedrich Wilhem Raiffeisen (Jerman) berupa koperasi kredit pertanian. Beliau kemudian memperluas lingkup dan jangkauan bank priyayi ini ( De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden – dalam Bahasa Belanda) sampai ke desa-desa dan mencakup pula kredit pertanian, sehingga pada tahun 1896 berdirilah “De Purwokertosche Hulp, Spaar en Landbouw Creditbank” atau dalam Bahasa Indonesia Bank Simpan Pinjam dan Kredit Pertanian Purwokerto. Kemudian bank ini terus berkembang hingga membangun lumbung-lumbung desa sebagai lembaga simpan-pinjam para petani bukan dalam bentuk uang, tetapi  petani menyimpan panennya disana lalu memberi pinjaman padi pada musim panceklik.

            Namun pada saat itu, pemerintah Hindia Belanda memiliki pemikiran lain. Bank tersebut tidak diubah menjadi koperasi seperti yang disarankan oleh de Wolf Westerode,  pemerintah justru mendirikan bank-bank desa, lumbung desa baru, rumah gadai dan kas sentral yang disebut dengan De Javanesche Bank yang kemudian bernama Bank Rakyat Indonesia. Mereka khawatir apabila koperasi ini didirikan akan dimanfaatkan oleh politikus pribumi untuk tujuan yang membahayakan pemerintah colonial Belanda.

            Setelah zaman penjajahan Belanda, giliran Jepang-lah yang menguasai Indonesia.  Jepang juga mendirikan sebuah koperasi yang diberi nama “Kumiyai” sebagai bentuk propaganda Jepang yang mengaku sebagai saudara tua dengan merekrut beberapa tokoh nasionalis. Awalnya operasi dari koperasi ini berjalan lancar dan dapat membantu rakyat Indonesia namun seiring dengan kekalahan Jepang di Perang dunia II, fungsi koperasi ini berubah secara drastis menjadi peraup keuntungan bagi Jepang sehingga rakyat Indonesia kembali melarat.

            Indonesia baru mengenal perundang-undangan koperasi pada tahun 1915, sejak diterbitkannya “Verordening op de Coorperative Vereninging”, Kononklijk besluit 7 April 1915, Indisch Staatsblad No. 431. Peraturan ini tidak ada bedanya dengan Undang-Undang Koperasi Negeri Belanda menurut Staatblad tahun 1876 No.277. Jadi, karena perundang-undangan koperasi baru ada pada tahun 1915, maka pada tahun 1895 (zaman penjajahan Belanda tadi) Indonesia belum mengenal badan hukum koperasi.

            Pada tahun 1920, diadakan Coorperative Comissie yang diketuai oleh Dr. JH. Boeke sebagai Adviseur voor Volks-credietwezen. Komisi ini diberi tugas untuk menyelidiki apakah koperasi bermanfaat bagi Indonesia. Pada bulan September 1921, diperolehlah hasil bahwa koperasi dibutuhkan untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kemudian pada tahun 1927 dikeluarkanlah Rageling Inlandsche Coorperative Vereebigingen yaitu sebuah peraturan tentang koperasi yang khusus berlaku bagi golongan bumi putera. Pada tanggal 12 Juli 1947 pasca kemerdekaan, diselenggarakan kongres gerakan koperasi se-Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut, terbentuklah  SOKRI (Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia) yang menjadikan tanggal 12 Juli tersebut sebagai Hari Koperasi, serta menganjurkan untuk diadakannya pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat supaya koperasi terus berkembang di Indonesia demi kesejahteraan rakyat. 

            Dalam proses perjuangan grakan koperasi, pada tahun 1951 di Jawa Barat dan Sumatera Utara didirikan badan-badan koordinasi yang merupakan badan penghubung cita-cita antar koperasi serta merupakan sumber penerangan dan pendidikan bagi anggota koperasi. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah No. 140 tentang penyaluran Bahan Pokok dan menugaskan koperasi sebagai pelaksananya pada tahun 1960. Kemudian pada tahun 1961, diselenggarakan Musyawarah Nasional Koperasi I (Munaskop I) pertama kali di Surabaya untuk melaksanakan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dan berlanjut pada Munaskop II di Jakrta pada tahun 1965 yang membahas pengambilalihan koperasi oleh kekuatan-kekuatan politik sebagai pelaksanaan UU baru. Kemudian tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang mulai berlaku mulai tanggal 18 Desember 1967 dan kemudian diganti menjadi UU No. 25 Tahun 1992. Dengan keluarnya UU inilah, Koperasi wajib menyesuaikan diri dan dilakukan penertiban organisasi koperasi sehingga koperasi wajib berbadan hukum.


Sumber :
Sitio, Arifin., Halomoan, Tamba. 2001. Koperasi : Teori dan Praktik. Jakarta : Penerbit Erlangga